Part 1
Koko Koswara, biasa dipanggil Mang Koko, (lahir di Indihiang, Tasikmalaya, 10 April1917 – meninggal di Bandung, 4 Oktober 1985 pada umur 68 tahun) adalah
seorang seniman Sunda.
Ayahnya Ibrahim alias Sumarta, masih keturunan Sultan Banten (Sultan
Hasanuddin). Ia mengikuti pendidikan sejak HIS (1932), MULO Pasundan (1935).
Bekerja sejak tahun 1937 berturut-turut di: Bale
Pamulang Pasundan, Paguyuban
Pasundan, De Javasche Bank; Surat Kabar Harian Cahaya, Harian Suara Merdeka,
Jawatan Penerangan Provinsi Jawa Barat, guru yang kemudian menjadi
Direktur Konservatori Karawitan Bandung (1961-1973); Dosen Luar Biasa di Akademi Seni
Tari Indonesia (ASTI) Bandung (sekarang Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung), sampai
ia wafat.
Bakat seni yang dimilikinya berasal
dari ayahnya yang tercatat sebagai juru mamaosCiawian dan Cianjuran.
Kemudian ia belajar sendiri dari seniman-seniman ahli karawitan Sunda yang
sudah ternama dan mendalami hasil karya bidang karawitan dari Raden Machjar Angga Koesoemadinata, seorang
ahli musik Sunda.
Ia juga tercatat telah
mendirikan berbagai perkumpulan kesenian, diantaranya: Jenaka Sunda "Kaca
Indihiang" (1946), "Taman
Murangkalih" (1948), "Taman
Cangkurileung" (1950), "Taman
Setiaputra" (1950), "Kliningan Ganda Mekar" (1950),
"Gamelan Mundinglaya" (1951),
dan "Taman Bincarung" (1958).
Mang Koko juga mendirikan
sekaligus menjadi pimpinan pertama dari "Yayasan Cangkurileung"
pusat, yang cabang-cabangnya tersebar di lingkungan sekolah-sekolah seprovinsi
Jawa Barat. Ia juga mendirikan dan menjadi pimpinan Yayasan Badan Penyelenggara
Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI), Bandung (1971). Pernah pula ia menerbitkan majalah
kesenian "Swara Cangkurileung" (1970-1983).
Karya cipta kakawihan yang ia buat dikumpulkan
dalam berbagai buku, baik yang sudah diterbitkan maupun yang masih berupa
naskah-naskah, diantaranya:
·
"Resep Mamaos" (Ganaco, 1948),
·
"Cangkurileung" (3 jilid/MB, 1952),
·
"Ganda Mekar" (Tarate, 1970),
·
"Bincarung" (Tarate, 1970),
·
"Pangajaran Kacapi" (Balebat, 1973),
·
"Seni Swara Sunda/Pupuh 17" (Mitra Buana,
1984),
·
"Sekar Mayang" (Mitra Buana, 1984),
·
"Layeutan Swara" (YCP, 1984),
·
"Bentang Sulintang/Lagu-lagu Perjuangan"; dan
sebagainya.
Karya-karyanya bukan hanya
dalam bidang kawih, tapi juga dalam bidang seni drama dan gending karesmen. Dalam hal ini tercatat
misalnya: GONDANG PANGWANUNAN, BAPA SATAR, ADU ASIH, SAMUDRA, GONDANG SAMAGAHA, BEREKAT KATITIH MAHAL, SEKAR CATUR, SAHA?, NGATROK, KARETA API, ISTRI TAMPIKAN, PAMEGET CEGEKAN, MALINDES, UMANGKEUH, SI KABAYAN, SI KABAYAN JEUNG RAJA JIMBUL,AKI NINI BALANGANTRANG, PANGERAN JAYAKARTA, NYAI DASIMAH, RUHAK PAJAJARAN
Part 2
PENGHARGAAN UNTUK MANG KOKO
Mang Koko telah mendapat
berbagai penghargaan dari berbagai pihak, baik dari pemerintah, lembaga atau
organisasi masyarakat (LSM), seperti diantaranya Piagam Wijayakusumah (1971),
sebagai penghargaan tertinggi dari pemerintah pusat dalam hal iniDepartemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam kategori
"Pembaharu dalam Bidang Seni Karawitan".
Saat membaca riwayat
kehidupan Mang Koko, akan ditemui seorang manusia yang telah memasrahkan jiwa
dan raganya demi kehidupan dan kelestarian seni, khususnya seni Sunda. Namun ia merasa sudah cukup bila
ia disebut sebagai seorang penghalus jiwa, sebab seperti diungkapkan dalam
salah satu kawihnya, seni adalah penghalus jiwa.
Part 3
RAWAYAN KE:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar